Upaya Menyiasati Hidup

Area 36! (IG: @tigaenam._) mengadakan screening tiga film pendek sebagai bagian dari pameran bertajuk New Waves Chapter 1 RE:SILIENCE pada Sabtu (17/2) kemarin di Ruang Kopi Sidoarjo, Kahuripan Nirwana.

FILM KOMUNITASSURABAYA RAYAPEMUTARAN FILM

Fariduddin Aththar

2/18/20242 min read

BeritaSinema.com - Area 36! (IG: @tigaenam._) mengadakan screening tiga film pendek sebagai bagian dari pameran bertajuk New Waves Chapter 1 RE:SILIENCE pada Sabtu (17/2) kemarin di Ruang Kopi Sidoarjo, Kahuripan Nirwana. Tiga film pendek yang diputar antara lain adalah Double in Trouble, Abang Mbranang (Arya Risyad, 2022), dan Lansia Lan Sopo (Muhammad Alfian Alfarisi, 2022). Dimulai tepat pada pukul delapan malam, penayangan film berjalan lancar sesuai urutan di atas menggunakan televisi ukuran besar dengan penonton lebih dari dua puluh orang.

Setelah pemutaran, David Ryan Sitorus selaku kurator pameran membuka sesi diskusi bersama sutradara Abang Mbranang, Arya Risyad. Lelaki yang akrab disapa Ped itu menjelaskan bahwa film pendeknya merupakan proyek tugas akhir kuliah di D3 Film dan Televisi (FTV) di Universitas Brawijaya. Bercerita tentang seorang mahasiswa hukum bernama Purbo yang diajak untuk melakukan pergerakan perlawanan melawan pejabat legislatif yang merampas lahan warga. Oleh seorang kakak tingkat jurusan seni yang dia panggil Abang, Purbo diajak menempelkan poster-poster bernada perlawanan di spanduk-spanduk Suroto, si pejabat legislatif. Berbekal lem dan berlembar-lembar poster, mereka memenuhi jalanan dan dinding-dinding hingga memantik emosi pihak lawan. Hingga akhirnya film selesai, penonton bertepuk tangan mengapresiasi dan menikmatinya.

Inspirasi Ped berasal dari kasus terbunuhnya aktivis Salim Kancil yang menolak tambang pasir di Desa Selok Awar-Awar, Pasirian, Lumajang sembilan tahun silam. Selain itu, Ped juga mendapatkan kisah yang merupakan kisah aktual dari neneknya bagaimana aktivis dibunuh (dikarungi dan disertai amplop berisi uang untuk biaya pemakaman) di masa Orde Baru. Dengan dua inspirasi tersebut, serta pengalaman melihat teman-teman aktivisnya di kampus yang juga terlibat dalam kesenian, maka lahirlah film pendek Abang Mbranang.

Terhadap kritisisme penonton yang melihat bagaimana tone filmnya yang tidak berubah dalam berbagai adegan – baik ketika perencanaan aktivisme, pergerakan, hingga “pembunuhan” aktivis – Ped menjawab bahwa hal itu hendak diperbaiki setelah ujian tugas akhirnya selesai. Sayang, timnya yang beranggotakan lima orang termasuk dirinya itu keburu bubar kembali ke daerah masing-masing sehingga editingnya tidak sempat digarap. Untuk membedakan tone itu, akhirnya ia mengandalkan pada music scoring yang dapat dirasakan perubahannya di adegan menempel poster.

Selain itu, Ped juga menambahkan penjelasan singkat yang mungkin tidak diperhatikan penonton. Yaitu bagaimana latar “Warung Biru” dalam ceritanya merupakan kontras dari karakter Abang yang “mbranang” (merah sekali) alias progresif. Meski begitu, film ini masih senapas dan senada dengan film-film progresif lain yang menunjukkan kalahnya pergerakan. Ped berpegang teguh pada realita dan tidak menunjukkan sisi yang lebih optimistik terhadap pergerakan.

Meski begitu, layar-layar alternatif seperti yanh dilakukan Area 36! tetap perlu diapresiasi. Screening ini juga merupakan rangkaian kedua setelah hari pertama membuka pameran dan di hari ketiganya menyelenggarakan DJ performance. Harapannya, dengan agenda pameran ini, kita sama-sama dapat belajar tentang ketangguhan manusia menghadapi “hidup yang tidak ajeg, hidup yang serba kemrungsung” ini. (FA/K1/FA)