Perjalanan sebagai Refleksi, Road Movie sebagai Materi

Dalam perkembangannya, road movie kemudian tidak mensyaratkan kepemilikan atas kendaraan pribadi dan tokohnya tidak selalu menyetir sendiri. Perjalanan menggunakan transportasi umum mulai jamak dalam road movie di Asia dan Amerika Selatan.

ULASAN FILMJAWA TIMURPEMUTARAN FILMFILM KOMUNITAS

Fariduddin Aththar

1/17/20248 min read

BeritaSinema.com - Ada dua fitur utama dalam genre road movie: yang pertama adalah kendaraan, yang kedua adalah jalanan. Perkembangan pertama genre ini bermula dari kemajuan otomotif di Amerika Serikat pada dekade 1960-an yang kemudian meningkatkan kepemilikan mobil pribadi. Oleh karenanya, mobil atau motor pribadi kemudian menjadi sebuah simbol akan perlawanan, akan pemberontakan atas kebudayaan normatif Amerika pasca-perang. Untuk itu pula, karakter-karakter utamanya selalu menyetir, menjadi pemilik atas kendaraan yang dikendarai dalam film, dan hampir selalu adalah laki-laki dewasa. Perempuan sekedar menjadi penumpang yang kemudian mengalami perubahan dalam perkembangan berikutnya; menyetir sendiri dan mengarahkan tujuannya.

Dalam perkembangannya, road movie kemudian tidak mensyaratkan kepemilikan atas kendaraan pribadi dan tokohnya tidak selalu menyetir sendiri. Perjalanan menggunakan transportasi umum mulai jamak dalam road movie di Asia dan Amerika Selatan. Biasanya, tokoh dalam film-film ini berjalan sendiri atau dalam kelompok, berpindah-pindah dari satu kendaraan ke kendaraan lain, lalu pada akhirnya sampai pada tujuan. Jika dalam perkembangan awalnya road movie melambangkan pemberontakan atas kehidupan normatif yang berakhir tanpa tujuan dan “jalanan” itulah tujuannya, maka road movie yang menggunakan kendaraan umum ini lebih tetap tujuannya.

Fitur utama kedua adalah jalanan (road). Namun, tidak sekedar jalan, tetapi adalah jalanan antar-negara bagian yang dalam konteks Indonesia mungkin adalah jalan negara atau provinsi. Oleh karenanya, film-film dengan latar jalanan tidak semua masuk dalam road movie: misal film balapan atau yang latarnya adalah jalanan dalam satu kota. Dengan pengecualian tersebut, maka road movie adalah genre yang menggunakan “perjalanan” sebagai motifnya, dengan bentuk yang bermacam-macam: ziarah, pulang, bepergian, wisata, dan lain sebagainya. Tercapai atau tidak, sampai pada tujuan atau tidak, itu menjadi dinamika dalam filmnya.

Tulisan ini bermula dari pengalaman saya dalam screening yang diselenggarakan Proyeksi Besok Lagi dengan tajuk “Berlayar Vol. 7: Banyak Jalan di Jalan.” Diselenggarakan pada Minggu malam (3/12) lalu di Portic Coffee, screening kali ini mengambil tema perjalanan di mana programmernya, Ahmad Nur Fahminudin dalam postingan di Instagram, mengajak untuk “mari memaknai setiap perjalanan di tahun ini untuk menyiapkan diri guna berjalan di tahun mendatang.” Menggunakan film sebagai refleksi, ada empat film yang diputar pada malam itu: Natalan, Jalan Pulang, Kereta Syurga, dan Antar Kota Dalam Provinsi.

Natalan (Sidharta Tata, 2015) menceritakan tentang Resnu yang bersama istrinya terjebak dalam kemacetan. Di awal film, ia mendapat telepon dari ibunya namun tak diangkat, setelah itu didera kegelisahan tak habis-habis bahkan setiap kali berhenti. Sang ibu, di rumahnya di Jogja, berekspektasi bahwa putranya akan pulang dan merayakan misa bersamanya. Ia sudah bersih-bersih dan menyiapkan makanan dengan menu daging.

Jalan Pulang (Muhammad Rizky Kurnia, 2017) menceritakan kisah Suharjo yang meminta putranya, Aldy, untuk diantar ke Jogja dan berziarah ke makam istrinya/ibu Aldy. Namun, Aldy sedang berada dalam proses produksi film dan tidak dapat menolak ketika mendengar nama ibunya disebut. Hubungan mereka yang sudah buruk sejak di rumah menjadi tambah runyam dalam perjalanan. Ketidakcocokan keduanya dibenturkan dalam satu mobil yang mogok di jalan sepi. Film ini menggunakan ramuan keluarga untuk mencoba menyusun ulang definisi keluarga harmonis.

Kereta Syurga (Mahesa Desaga, 2017) mempertemukan antara seorang pelaku bom bunuh diri berpeci dengan sosok ekstremis dengan jubah di kepalanya. Keduanya sama-sama naik sebuah kereta menuju surga. Dalam perjalanan, keduanya berbagi cerita rekam jejak mereka dalam berjihad, berdakwah, hingga ekspektasi-ekspektasi imajinatif berdasarkan dalil-dalil yang mereka pelajari. Diakhiri secara filosofis, film ini mengajak penonton merefleksikan pandangan spiritual dan agamis yang selama ini menjadi narasi besar dalam panggung politik.

Ketika yang lain menggunakan mobil dan kereta, Antar Kota Dalam Provinsi (Eka Wahyu Primadani, 2017) membawa penonton pada drama kehidupan romantis seorang kondektur bus jurusan Surabaya-Jember bernama Adam. Suatu hari, Ana, kekasihnya datang untuk ikut menumpang dan duduk di kursi depan. Namun, yang lebih penting, meminta kejelasan akan hubungan mereka yang sudah enam tahun berjalan. Ketika sampai di Probolinggo, seorang perempuan cantik naik dan meminta untuk duduk ke depan namun dihalangi oleh kondektur penarik tiket, Bagus. Tak dinyana, wanita itu juga adalah kekasih Adam yang langsung bersikap mesra ketika ada kesempatan. Meskipun tidak ganteng-ganteng amat, Adam menunjukkan pada kita bahwa main perempuan bukan hanya monopoli orang kaya.

Kendaraan sebagai Oven Berjalan.

Di OTT macam Netflix, road movie tidak masuk dalam genre tersendiri. Ia kemudian akan dikelompokkan bersama “drama” jika ceritanya berkaitan dengan keluarga, atau “kriminal” kalau mengisahkan kaburnya sekelompok penjahat dari kejaran aparat keamanan. Padahal, road movie bisa menjadi genre yang memiliki fitur naratif tersendiri, bukan sekedar alat atau media untuk mendukung jalannya cerita. Maka, akibat dari adanya sebuah kendaraan dan perjalanan, maka road movie kemudian hampir pasti selalu menghadirkan dua elemen penceritaan lain.

Pertama, kendaraan akan menjadi tempat yang mempertemukan para karakter dan mau tidak mau mengkomunikasikan pikiran mereka. Berada di dalam mobil dalam waktu yang lama, mereka musti mengobrol agar tidak merasa bosan. Kalaupun memilih untuk memutar musik atau melakukan hal lain, belum tentu karakternya akan saling menyetujui. Pada intinya, perbedaan sifat dan pendapat para karakter akan dibenturkan dalam perjalanan. Karakter-karakternya dipaksa untuk saling mentolerir sikap satu sama lain, atau memperdebatkannya agar semakin memanas sepanjang perjalanan.

Oleh karenanya, kendaraan dalam road movie macam oven berjalan: suasana tetap akan memanas bahkan ketika AC dinyalakan. Dalam Natalan, Resnu dipaksa untuk menahan diri dari sikap menyebalkan istrinya (yang mungkin sudah biasa ia hadapi, namun tidak bagi penonton), sembari memikirkan hal lain: bahwa tujuan perjalanannya tidak pulang ke rumah sang ibu, tetapi ke keluarga mertua. Bahwa bahkan dalam rumitnya kemacetan, begitu pula yang diketahui sang ibu dari berita di radio, Resnu menyimpan kegelisahannya dalam hati.

Berbeda dengan Resnu yang tenang, pasangan ayah-anak dalam Jalan Pulang memutuskan untuk berterus terang. Bahkan dari rumah, keduanya sudah diceritakan “sedikit berbeda”: Suharjo masih sholat subuh di masjid sedangkan Aldy baru bangun ketika matahari terbit, itu pun musti dipaksa. Di mobil, sang ayah tidak menyukai Aldy yang merokok, dan beberapa kali batuk terkena asapnya. Di sisi lain, Aldy musti menelpon teman-teman kerjanya untuk meminta waktu produksi tambahan dan ia menyalahkan ayahnya atas gagalnya ia menyelesaikan deadline syuting. Oven berjalan itu menjadi nyata dalam film ini.

Jika mobil adalah kendaraan tertutup, maka “kereta” yang digunakan dalam Kereta Syurga adalah kereta kelinci yang sifatnya semi-terbuka. Untuk itu, kedua karakter di dalamnya, si ekstremis dan si pelaku bom bunuh diri tidak merasa tertekan ketika diantar menggunakan kendaraan itu ke (tempat yang mereka kira) surga. Memiliki banyak kesamaan pandangan, meskipun salah satu merasa lebih senior, keduanya cepat merasa akrab, membayangkan hal-hal serupa tentang surga dan apa saja isinya. Saking akrabnya, mereka bahkan bertransaksi untuk memberikan jatah bidadari surga dari si pelaku bom ke si ekstremis. Seolah-olah mereka akan mendapatkannya saja.

Di film terakhir, Antar Kota Dalam Provinsi, para karakternya berinteraksi dengan batasan adanya penumpang lain dan kewajiban masing-masing sebagai sopir, kondektur, atau penarik karcis. Namun, hal itu tidak menghentikan bisnya untuk menjadi oven berjalan: sumber panasnya adalah kehadiran wanita baru Adam si Kondektur yang mengambil setiap kesempatan untuk bermesraan. Berusaha menyelesaikan konflik, Yudha si Sopir memaksa Adam untuk mengambil sikap. Kalau tidak, setoran mereka tidak akan terpenuhi karena penumpang yang merasa risih.

Dari cerita-cerita keempatnya, aspek kendaraan sebagai pertemuan dan perbenturan sikap itu dilakukan dengan baik. Di akhir, sikap-sikap karakternya mau tak mau musti berubah; ada yang berhenti merokok dan (mungkin) memperbaiki sholatnya kembali, ada yang memperbaiki hubungan dengan ibunya dengan lebih erat, ada yang mendapatkan teman akibat dari kesamaan-kesamaan latar belakang dan pemikiran, hingga ada yang musti memikirkan ulang kehidupan asmara mereka. Oven berjalan itu adalah prasyarat pengembangan karakter. Kendaraan adalah medium yang baik untuk mematangkan mereka menjadi lebih baik.

Pemberhentian sebagai Tempat Istirahat.

Selain menjadikan perjalanan sebagai tempat mengembangkan karakternya melalui dialog dan interaksi, road movie masih memberikan kesempatan untuk beristirahat. Oleh karena itu, dalam perjalanan, mereka musti berhenti dahulu untuk beristirahat, baik karena keinginan pribadi si driver, maupun keputusan bersama penumpang. Kalau di dalam kendaraan, karakter-karakternya ditekan untuk saling berinteraksi, maka dalam tempat-tempat pemberhentian, ketegangan itu dikendurkan. Mereka musti beristirahat untuk tidak selalu bertengkar. Setidaknya, itu teorinya.

Dalam Natalan, Resnu malah dihadapkan pada sang istri yang seenaknya sendiri, tidak mau menemaninya makan bersama, asik dengan ponsel dan teman-temannya di dunia maya. Baik Resnu maupun sang istri tidak pernah diperlihatkan bersama ketika istirahat dalam perjalanan: di toilet, mereka masuk bergantian; di restoran pinggir jalan, sang istri selesai duluan; menepi di tepi jalan, sang istri tidak peduli ketika Resnu diganggu pengamen banci. Sikap Resnu mungkin tidak berbeda baik di dalam maupun di luar mobil, namun setidaknya ia tidak satu ruangan mendengarkan celotehan sang istri.

Jalan Pulang memberikan waktu kepada Suharjo si Ayah untuk setidaknya sedikit berjarak dari sang anak yang perokok dan selalu marah. Namun, ia tidak memberikan waktu kepada si anak dan selalu memaksanya ikut sholat berjamaah. Alih-alih beristirahat, perdebatan yang belum selesai di dalam mobil bahkan dibawa pula ke meja makan restoran. Akibatnya, satu-satunya istirahat bagi mereka adalah ketika mobil mereka mogok. Alur ceritanya sudah tidak kuat: lebih baik kendaraannya saja yang dimatikan agar perbedaan pandangan mereka dapat diselesaikan.

Karena perjalanan ke Surga adalah hal abstrak (belum ditemukan visualisasi empirisnya), maka Kereta Syurga yang membawa dua karakter ekstremis dan pelaku bom bunuh diri itu tidak berhenti di manapun selain tujuan akhirnya. Tidak ada istirahat dalam perjalanan mereka, tidak pula perjalanan mereka panjang melewati tempat-tempat yang secara distingtif dapat dikenali. Untungnya, mereka memang tidak perlu beristirahat. Toh, surga menjadi tempat istirahat terbaik bagi keduanya.

Begitu pula dengan Antar Kota Dalam Provinsi, yang tidak berhenti dimanapun kecuali untuk mengangkut penumpang dan menurunkannya. Oleh karenanya, untuk melemaskan ketegangan yang terjadi di dalam, mau tidak mau mereka menunggu sampai di ujung pemberhentian. Kisahnya tampak open-ending, namun ceritanya memang berakhir dengan ketidakmampuan Adam menentukan pilihannya: kepada Ana yang sudah menginvestasikan enam tahun bersama dan dituntut orang tua, atau kepada wanita selingkuhan yang lebih cantik dan bahenol bodynya.

Melampaui Teori dan Mempertahankannya.

Genre road movie dipergunakan dengan baik di Indonesia, untuk menggambarkan pergumulan keluarga, pencarian jati diri, hingga promosi kekayaan alam dan budaya dengan mengunjungi berbagai destinasi pariwisata. Sementara dua film pertama, Natalan dan Jalan Pulang, masih menggunakan skema umum tentang perjalanan dari Ibukota Jakarta ke (yang mereka sebut) daerah, seperti Solo dan Jogja, dua film lain melampaui itu dan merekam kemungkinan-kemungkinan lain.

Kalau kemudian berpaku pada teori-teori yang menuliskan sejarah perkembangannya dari Amerika sana, maka baik Kereta Syurga maupun Antar Kota Dalam Provinsi akan sulit untuk masuk dalam kategorinya. Untuk itu, aturan itu dilanggar dan dicarikan solusi yang lebih dapat diterima secara kreatif. Lihatlah Kereta Syurga yang bahkan tidak menggambarkan siapa supirnya, kereta bergerak sendiri, hingga “jalan” yang dilaluinya tidak dapat diidentifikasi secara distingtif. Hanya ada jalanan berkabut yang lurus, tidak berkelok-kelok, dengan latar seperti di pedesaan. Antar Kota Dalam Provinsi, menggambarkan situasi bus yang runyam, penuh rasa canggung dan kemarahan. Untuk itu, si sopir (dalam proses syuting) mengebut begitu kencang, membuat penonton deg-degan dan bahkan pemerhati film mempertanyakan keamanan proses produksi. Kalau bukan dari Jawa Timur, atau tidak familiar dengan rute yang diambil oleh bisnya, maka akan sulit membedakan mana Surabaya dan mana Jember selain pada nama yang tertera pada gerbang terminal atau gerbang perbatasan kota atau kabupaten. Padahal, road movie pada mulanya adalah upaya pencarian para karakternya untuk menemukan tempat-tempat baru selain yang selama ini ditemuinya. Untuk itu, mereka merasa nyaman ketika melihat wilayah suburban (pedesaan), padang pasir di sebagian wilayah Selatan Amerika. Namun, karena ceritanya bukanlah pada pencarian, distingsi tempat-tempat itu tidak lagi penting. Yang tahu tempat-tempatnya adalah karakter-karakter itu sendiri. Penonton dibuat bingung entah mereka telah sampai atau belum.

Maka, selain pada jalanan yang mereka tempuh untuk meneruskan cerita, elemen lingkungan juga diperlukan penonton: kamera biasanya steady pada satu lokasi tertentu, hingga akhirnya kendaraannya melintas dan berpindah pada lokasi lain. Pengambilan gambar menggunakan objek-objek tertentu yang menjadi ikon suatu wilayah juga bisa digunakan. Toh, kota-kota di seluruh Indonesia tidak kekurangan monumen; ada saja yang bisa dibangun untuk menunjukkan identitas sebuah kota. Kecuali kota itu berada di persimpangan menuju Surga, maka memastikan penonton untuk tahu di mana kisahnya berjalan akan sangat terasa menyenangkan.

Kembali pada tujuan untuk menjadikan agenda screening ini sebagai refleksi menyambut datangnya tahun baru, maka, bagi saya, kita bisa melihat apa yang masih akan terus musti kita perbaiki bahkan tak ada habisnya: hubungan kita dengan keluarga, kisah percintaan yang berantakan, hingga sikap-sikap keagamaan kita yang masih jauh dari kata sempurna namun sudah pasti berharap surga. Alih-alih merasa benar sendiri, alangkah baiknya bagi kita untuk menguji diri sendiri dan hubungan yang kita miliki dengan orang lain. Dengan cara apa? Ya, dengan perjalanan. (FA/K1/FA)