Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak: Bukti Rentannya Perempuan dalam Masyarakat Patriarkal

Untuk menutup peringatan 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) yang berlangsung setiap 15 November-10 Desember, angkatsuara.id melaksanakan bedah film dengan tajuk “On Frame: Mengulas apa yang ada di balik layar” di Pasadena Coffee, Dau, Malang pada Minggu (10/12) lalu.

ULASAN FILMNASIONALPEMUTARAN FILM

Fariduddin Aththar

12/18/20235 min read

BeritaSinema.com - Untuk menutup peringatan 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) yang berlangsung setiap 15 November-10 Desember, angkatsuara.id melaksanakan bedah film dengan tajuk “On Frame: Mengulas apa yang ada di balik layar” di Pasadena Coffee, Dau, Malang pada Minggu (10/12) lalu. Sebagai media yang berniat untuk aktif dalam menyuarakan isu-isu gender, angkatsuara.id menggunakan film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak untuk melihat bagaimana penyintas kekerasan seksual bertahan dalam masyarakat dengan budaya patriarkis.

Marlina si Pembunuh sendiri bercerita tentang seorang janda bernama Marlina (diperankan oleh Marsha Timothy) yang suaminya mati meninggalkan hutang. Karena mahalnya kain untuk pemakaman, maka banyak mayat warga tidak segera dikebumikan dan dimumikan di rumah. Begitu pula yang terjadi dengan suami Marlina. Seorang perampok bernama Markus (Egi Fedly) datang untuk menagih hutangnya, sekaligus memberi ancaman untuk memperkosanya bergiliran bersama teman-temannya. Terdesak oleh ancaman itu, Marlina memasukkan racun ke dalam masakan yang ia suguhkan, lalu memenggal leher Markus yang memperkosanya.

Di pagi hari, Marlina membawa kepala Markus ke kantor polisi. Karena jarak yang jauh, ia musti naik truk untuk ke kota dan berjumpa dengan tetangga kampungnya Novi (Dea Panendra) yang berniat menemui suaminya. Dengan bantuan Novi, Marlina berusaha kabur dari adik Markus, Frans (Yoga Pratama) yang mengejar truknya sepanjang jalan. Marlina dan Novi akhirnya musti melawan Frans, membelah lehernya juga dalam aksi pemerkosaan di kamar yang sama.

Gender, Pemberdayaan Perempuan dan Peran Negara

Menggunakan film Marlina si Pembunuh sebagai bahan diskusi, Galang Nariyya Kirana dari Women’s March Malang mengingatkan dasar-dasar konseptual dalam studi gender yang membedakan antara sex dan gender. Sex atau jenis kelamin adalah hal natural yang membedakan manusia dalam aspek fisiologisnya. Di sisi lain, gender adalah konsep struktural yang membedakan fungsi-fungsi kultural antara laki-laki dan perempuan. Jika sex atau jenis kelamin adalah hal biologis yang sulit diubah (meskipun ada kasus pengecualian), gender sifatnya sangat fluktuatif dan dinamis, sehingga perubahannya dapat diupayakan untuk berbagai masyarakat. Dasar konseptual ini pada akhirnya penting untuk membawa perubahan dalam budaya di mana posisi wanita menjadi lebih rentan.

Cindy Parastasia dari angkatsuara.id merangkum setiap babak dalam film Marlina dan menunjukkan posisi-posisi ketidakberdayaan perempuan. Pertama-tama, Marlina dalam film ini mendapat kekerasan berlapis yang diterimanya setelah menyandang status janda. Kekerasan pertama dilakukan secara verbal di mana ia mendapat ancaman dan posisinya direndahkan sebagai janda. Kedua, kekerasan fisik menjadi kenyataan setelah ia mendapat pemerkosaan dari para perampoknya. Selain itu, dia musti menerima perampok-perampok itu layaknya tamu dengan membiarkan mereka masuk ke dalam rumah, tidur di kamar pribadinya, serta melayani mereka dengan menyuguhkan sup ayam. Bahkan tanpa status janda, posisi perempuan sudah sangat lemah dan dianggap tujuan hidupnya untuk melayani laki-laki.

Kedua, kekerasan dialami oleh karakter Novi yang hamil tua (sepuluh bulan) dan anaknya tidak kunjung lahir. Mendapat pesan dari seorang ibu di truk yang sama, Novi musti berhubungan badan dengan suaminya agar dapat “memancing” bayi itu keluar. Sayangnya, suami Novi bekerja di kota dan jarang pulang. Situasi tambah runyam setelah Frans, dengan ancaman untuk membantunya menangkap Marlina, mengatakan melalui telepon bahwa Novi telah berhubungan dengannya. Alhasil, sang suami mencampakkannya. Menggendong sendiri bayi yang tak kunjung lahir, Novi masih dituduh tanpa bukti dan tidak dipercaya oleh sang suami.

Setidaknya, Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak menawarkan alternatif konstruksi “women support women” dengan keberanian keduanya sepanjang perjalanan untuk saling membantu. Novi dan pasangan ibu-anak mengupayakan agar Marlina dapat bersembunyi, bahkan ketika mereka ikut disandera, mereka tidak ragu untuk turut melawan. Di dekat kantor polisi, Marlina mampir untuk makan sate ayam sebelum melaporkan kasusnya. Seorang anak perempuan bernama Topan menjadi pelayan di warung sate itu, yang namanya sama dengan anak lelaki Marlina namun telah meninggal setahun sebelumnya. Tidak hanya membantunya menyembunyikan kotak berisi kepala Markus, Topan juga memeluknya dan meminjamkan pakaian selagi Marlina mandi. Tanpa relasi apapun dan minimnya hubungan persaudaraan, karakter-karakter perempuan tidak ragu memberikan dukungan moril. Hubungan saling percaya itu menjadi modal utama untuk kemudian menunjukkan bahwa perempuan sebagai kelompok yang rentan musti saling membantu dan bergandengan tangan.

Selain itu, sebagai bagian dari diskursus kesetaraan yang lebih luas, diperlukan pula kesadaran akan pemberdayaan kelompok perempuan yang nantinya menjadi prasyarat kesetaraan perempuan dalam rumah tangga dan masyarakat. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa Marlina dirampok dan diperkosa karena suaminya yang meninggalkan hutang. Untuk itu, Markus dan teman-temannya datang untuk merebut harta peninggalannya berupa kambing dan babi masing-masing sepuluh ekor. Sebaliknya, jika hutang itu tidak ada sejak awal, maka aksi perampokan dan pemerkosaan itu tidak akan terjadi sejak awal. Sayangnya, asumsi ini tidak disetujui sepenuhnya oleh Cindy Parastasia yang mengungkapkan bahwa bahkan jika Marlina berdaya secara ekonomi, bukan berarti posisinya sebagai janda akan tetap aman. Begitu pula Novi yang tetap dianggap selingkuh bahkan ketika sedang menanggung beban besar. Oleh karenanya, meskipun studi gender juga berkaitan dengan kapasitas perempuan sebagai pekerja dan pelaku ekonomi dalam kritik terhadap kapitalisme, pendidikan gender yang setara dan inklusif musti tetap dilakukan. Utamanya, untuk mendidik laki-laki agar juga mengadopsi kesetaraan gender.

Melihat bagaimana polisi yang masih menggunakan mesin ketik ketika menulis laporan dari Marlina, bisa ditelisik bagaimana film ini berlatar di tahun 1990an. Dari sana, dapat dilihat absennya peran negara selama lebih dari 20 tahun dalam melindungi kelompok perempuan yang kemudian baru dapat diakomodir dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan terhadap Perempuan (UU TPKS). Kepada Marlina, petugas kepolisian menjelaskan bagaimana ia musti melakukan visum, olah TKP, dan berbagai birokrasi lain hanya untuk melanjutkan perkaranya. Itupun Marlina musti menunggu sampai dua hari sedangkan posisinya tidak aman dari kejaran Frans. Untuk itu, peran negara dan aparat keamanan mustinya dapat diandalkan dan memihak kepada korban.

Catatan untuk Screening

Sebagai sebuah media baru yang memiliki jaringan aktivis yang luas di Malang Raya, saya pikir angkatsuara.id bisa menyediakan penayangan film yang lebih baik. Acara di akhir pekan lalu itu dilaksanakan dalam ruangan semi-outdoor dengan matahari sore yang masih cukup terang, sehingga membuat pencahayaan film tidak dapat dinikmati, terutama di paruh pertama. Sebaliknya, kualitas audio berjalan dengan cukup baik, meskipun ruangan yang digunakan adalah kafe yang tidak terpisah dari pelanggan lain. Meskipun tidak berada dalam mini theater atau ruangan indoor, pemutaran film Marlina si Pembunuh setidaknya dapat dinikmati.

Selain itu, diskusinya berjalan hanya pada aspek kontekstual yang (kadangkala) sepenuhnya berada di luar film, meskipun masih menyebut aspek-aspek kontennya sebagai sumber: unsur naratif, pembagian alur dalam babak, hingga latar belakang tempat (Pulau Sumba) dan waktunya (1990-an). Rekan-rekan peserta dari Nusa Tenggara Timur juga memberikan penjelasan kontekstual untuk menunjukkan aspek-aspek dalam film yang mungkin tidak dipahami penonton. Selanjutnya, diskusi aktivis yang menggunakan film sebagai pemantiknya juga dapat menjelaskan pendekatan estetik dan sinematik yang seharusnya bisa menjelaskan filmnya secara lebih menyeluruh.

Kembali pada upayanya untuk memperingati Hari Kekerasan terhadap Perempuan, pemutaran film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak adalah agenda yang patut diapresiasi. Selain relevansi kontekstual, kisah Marlina juga adalah contoh yang lugas akan rentannya posisi perempuan dalam masyarakat Indonesia secara umum. Untuk itu, mari melihat kembali pada slogan yang ditulis oleh rekan-rekan angkatsuara.id, “Korban tidak akan bisa berjalan sendiri dan kamulah yang harus merangkulnya.” (FA/K2/FA)