Gadis Kretek: Serial yang Melampaui Ekspektasi Teks Aslinya

“Kita selalu ingin menghadirkan masa lalu di masa depan, meski kita tahu, itu semua saling-silang…”

NASIONALULASAN FILM

Yusril Ihza F. A.

3/2/20248 min read

BeritaSinema.com - “Kita selalu ingin menghadirkan masa lalu di masa depan, meski kita tahu, itu semua saling-silang…” Begitu kiranya kalimat yang terlintas di kepala saya ketika usai menonton serial Gadis Kretek. Serial alih wahana dari novel best seller karya Ratih Kumala yang disutradarai oleh sepasang “angsa ungu”, yaitu Kamila Andini dan Ifa Isfansyah. Saya sebut demikian, karena saya pikir ide kreatif mereka seperti air sungai mengalir menuju muara tanpa batas dan mereka adalah angsa ungu yang berenang, bermain-main, bersukacita di antaranya, menikmati purnama dalam kedamaian sekaligus keheningan, sembari menuturkan kisah cinta Soeraja dan Dasiyah. Mereka menuturkannya dengan penuh gairah cinta, lalu mewujudkan, menggubahnya begitu cakap dari teks sastra menjadi teks visual, berupa serial series Gadis Kretek yang kini tersedia di Netflix.

Di sisi lain, ibarat puzzle, novel ini memiliki patahan maupun lubang pada susunan alur yang tiba-tiba ada, tiba-tiba menghilang. Akan tetapi, Tanya Yuson, sebagai penulis skenario, mampu mengisi lubang dan menyusun setiap keping puzzle dengan epik. Ketika membaca novel, saya seperti diajak berpikir dan menebak-nebak apa yang akan terjadi di bab selanjutnya, juga merasakan nuansa tragedi dan komedi yang berkelit-kelindan. Hal itu memberikan sensasi tersendiri sebagai seorang pembaca. Tetapi ketika menonton serialnya, saya seolah harus mempersiapkan cukup banyak energi untuk getaran jiwa yang tiba-tiba, sesak nafas yang sulit diatur dan air mata yang kerap tak dapat dibendung. Sebagai penikmat serial, saya seperti berada di antara dua dimensi yang saling-silang, namun masih saling berkaitan, yaitu dimensi masa lalu dan masa depan.

Relasi Sastra & Serial

Pun secara unsur dan struktur, ada beberapa peristiwa yang ada di dalam novel tetapi tidak ada di dalam serial. Begitupun sebaliknya, ada beberapa peristiwa yang ada dalam serial tetapi tidak ada dalam novel. Namun keduanya memiliki esensi masing-masing. Barangkali itu yang disebut sebagai intelektualitas dalam proses kreatif alih wahana, dimana setiap kreator/seniman memiliki tanggung jawab moral, estetika, maupun intelektual dalam setiap karyanya. Pun agar karya dapat berbicara sebagai sikap seniman atas wacana atau isu yang tersebar di tengah masyarakat, sehingga karya diciptakan untuk menyikapi sesuatu, bukan sekadar memindahkan medianya. Sastra akan tetap menjadi sastra, serial akan tetap menjadi serial. Keduanya memiliki pijakan yang berbeda, tetapi apabila disandingkan dalam ruang yang sama, keduanya seperti satu kesatuan yang saling mengisi dan saling memperbarui.

Selain itu, unsur sastra yang masih melekat dalam serial ini adalah cara bertuturnya. Pertama, melalui catatan Jeng Yah dan Raja. Kedua, melalui narasi cerita dari berbagai tokoh yang mengalami peristiwa di masa lalu dan yang masih hidup di dimensi masa depan. Teknik bertutur yang pertama tentu saja akan mengingatkan kita pada zaman sebelum mengenal teknologi gadget; bagi sepasang dara yang saling beradu kasih asmara, pertemuan adalah hal yang paling dinanti oleh keduanya. Kondisi itu begitu lekat dalam cerita, Raja dan Jeng Yah sama-sama memendam asmara namun sulit diungkapkan. Asmara mereka selalu dipisahkan oleh keadaan, ambisi dan obsesi baik dari pihak keluarga Pak Idroes, atau bahkan dari pihak Jeng Yah dan Raja sendiri. Oleh sebab itu, satu-satunya cara terbaik untuk mengungkapkan segala riuh-redam asmara dalam dada keduanya, hanya bisa diungkapkan melalui catatan-catatan maupun surat.

Adapun di era itu bahasa adalah media komunikasi yang menunjukan jati diri seseorang, apakah dia seorang terhormat, berwibawa, lembut, atau lain sebagainya, sehingga bahasa di dalam surat-surat keduanya seperti narasi pada bentuk sastra prosa. Dan memang demikian: serial ini bertumpu pada catatan-catatan masa lalu yang dibacakan ulang oleh Lebas dan Arum sebagai penanda bahwa tokoh Jeng Yah yang mereka cari, benar nyata adanya. Hal ini yang barangkali menjadikan sastra sebagai titik tumpu dari segala unsur yang ada dalam serial. Sastra/teks seperti air yang mengalir diserap akar-akar tanaman di bawah tanah, lalu menumbuhkan pohon-pohon rindang, indah, hingga berbuah. Salah satu buah itu adalah serial Gadis Kretek yang barangkali cukup berhasil hidup sebagai sebuah karya utuh, yang bahkan melampaui teksnya sendiri.

Cara bertutur kedua adalah dengan memberikan peran tokoh-tokoh yang keberadaannya di dimensi masa lalu tidak terlalu diperhitungkan, tetapi di dimensi masa depan mereka memiliki peranan penting untuk menghidupkan alur cerita. Tentu saja sebagai saksi hidup, sebagai pembawa pesan atas kebenaran nyata di masa lalu. Hal ini merupakan kebiasaan yang melekat dalam khazanah tradisi maupun kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa pada masa itu, yaitu dengan cara menceritakan peristiwa melalui tuturan-tuturan, dari mulut ke mulut begitu seterusnya. Dalam khazanah sastra nusantara, cara bertutur demikian disebut sebagai sastra lisan. Dalam konteks ini, serial Gadis Kretek kiranya mampu mengusung dua cara bertutur yang berbeda namun tetap dalam koridor yang tidak keluar dari unsur tradisi maupun kebudayaan masyarakat Indonesia. Dengan demikian serial Gadis Kretek dapat dikatakan turut mengambil peran dalam melestarikan tradisi dan kebudayaan, yaitu tradisi keberaksaraan melalui catatan-catatan Jeng Yah dan Raja sebagai unsur dari sastra tulis dan tradisi lisan melalui narasi yang disampaikan oleh beberapa tokoh yang menceritakan masa lalu sebagai unsur dari sastra lisan.

Akan tetapi, secara subjektif, ketika mulai asyik memasuki romantisme di era itu, yaitu zaman yang memaknai pertemuan adalah perjuangan, ekspektasi saya dipatahkan melalui kalimat cinta Raja terhadap Jeng Yah. Karena ketika kalimat “Aku mencintaimu,” sudah diucapkan sebelum waktunya, maka hilanglah setiap debar jantung ketika bertemu, juga bayang-bayang yang membuat seseorang tidak bisa tidur. Itu semua akan sirna begitu saja. Adapun dalam konteks cinta, barangkali kisah cinta generasi milenial maupun generasi Z hampir tidak memiliki romantisme seperti zaman sebelum gadget berada di genggaman setiap orang. Apabila sedari awal sampai akhir kata cinta tidak diungkapkan dan ditunjukan hanya melalui detail-detail akting (tatapan mata, sentuhan-sentuhan tertentu, maupun beberapa adegan yang menyimbolkan cinta itu sendiri) barangkali hasilnya akan lebih menyayat lagi, mengingat Gadis Kretek tidak memberikan ruang tersenyum sedikitpun bagi penontonnya – semua peristiwa begitu padat, rapat, sekaligus penuh dengan kepedihan seolah penonton menanggung beban tangis usai menontonnya.

Perjodohan & Konflik Gender

Seorang perempuan dari Kota M bernama Dasiyah (diperankan Dian Sastro) terobsesi untuk membuat saus kretek sebagai mahakarya otentik sebagai persembahan demi memajukan bisnis kretek keluarganya. Pak Idroes (Rukman Rosadi), ayah Dasiyah, merupakan pengusaha Kretek Merdeka — kretek ternama di Kota M. Meskipun Dasiyah, atau yang akrab dipanggil Jeng Yah itu adalah anak Pak Idroes yang kerap membantu jalannya pabrik kretek Merdeka, Pak Idroes tetap percaya mitos yang dinarasikan oleh Pak Dibyo (Whani Darmawan), selaku pembuat saus kretek, bahwa apabila perempuan ikut campur dalam pembuatan saus kretek, maka aromanya akan menjadi asam. Dalam hal ini sutradara begitu jeli, sehingga ia memainkan simbol untuk menandai perlawanan dengan menghadirkan satu ruang di area pabrik yang pintunya berwarna biru. Ruangan berpintu biru itu hanya boleh dimasuki oleh Pak Dibyo dan laki-laki, sedangkan apabila perempuan memasukinya, saus yang tadinya beraroma sedap akan menjadi asam. Pada konteks ini, ada semacam konflik gender. Keberadaan Pak Dibyo dan ruang saus berpintu biru itu merupakan simbol dari kuasa laki-laki Indonesia di era pascakolonial. Peran Jeng Yah untuk memperjuangkan kebebasan dari belenggu dominasi laki-laki ditunjukan ketika ia berani membuka pintu biru lalu memasuki ruang saus. Dengan begitu, Jeng Yah adalah simbol dari perempuan yang berani mendobrak dominasi dan ketidakadilan dalam balut mitos konyol tak berdasar.

Soeraja (Ario Bayu), atau Raja, adalah seorang yatim-piatu yang memiliki masa lalu kelam di Masa Kolonial. Raja dituduh sebagai antek koloni karena keluarganya pernah bekerja bersama orang Belanda. Ketika Raja menjadi gelandangan di pasar, Jeng Yah, melalui ayahnya, Pak Idroes, menolong Raja lalu menjadikannya sebagai buruh di pabrik kretek Merdeka. Singkat cerita, selama Raja bekerja menjadi buruh hingga menjadi mandor, Raja menaruh hati pada Jeng Yah, begitupun sebaliknya. Akan tetapi, tidak hanya persoalan ruang saus dan peran dominasi Pak Dibyo saja, ternyata cara pandang serial ini menghendaki bahwa perjodohan menjadi salah satu bagian dari pemicu konflik gender. Konflik berlanjut ketika Pak Idroes dan istrinya Roemaisa (Sha Ine Febriyanti) menjodohkan Jeng Yah dengan Seno Aji (Ibnu Jamil), seorang anggota militer dan anak dari pemilik pabrik kretek Boekit Kelapa. Alih-alih perjodohan Jeng Yah dan Seno Aji berjalan sampai pada pertunangan, cinta hadir untuk meresistensi dominasi keluarga Idroes kepada Raja dan Jeng Yah. Meskipun awalnya ada penolakan, bahkan sampai Raja diusir dari rumah, cinta kembali menjadi simbol dari resistensi yang membuat Raja dan Jeng Yah pada akhirnya mendapatkan tempat yang layak, yaitu pelaminan.

Krisis Identitas & Trauma Komunisme Gen Millennial & Zilenial

Sebelum mereka berdua menikah, Raja dengan gigih ingin mewujudkan ambisinya sebagai seorang juragan kretek besar, agar ia dapat dianggap memiliki derajat yang sama dengan Jeng Yah. Untuk itu, Raja bekerja sebagai pemasok tembakau. Apapun yang dapat menguntungkan dan membantu mewujudkan ambisinya, Raja tidak segan untuk mengambil kesempatan. Kebetulan yang bisa menjadi tunggangan Raja saat itu adalah Partai Merah, karena mereka juga sedang mengedarkan kretek Merah sebagai kampanye politik. Raja menerima kerja sama dengan Partai Merah dan menganggap itu hal yang tidak merugikan maupun berbahaya. Partai Merah sendiri di Kota M masih belum terdengar kasak-kusuk pergerakan politik praktisnya, meskipun sudah mulai merekrut banyak anggota, termasuk berupaya merekrut Raja. Akan tetapi, Raja tidak tertarik sama sekali untuk menjadi anggota; Ia lebih senang menjadi pemasok tembakau. Di suatu hari, Raja dikejutkan dengan kasak-kusuk Partai Merah ketika berada di pasar dan melihat keadaan begitu hening. Ketika Raja pergi ke tempat ia biasa mencetak etiket kretek, di sanalah ia mengetahui apa yang terjadi. Raja kemudian pulang dengan membawa kretek Merah, memberikannya pada Jeng Yah, lalu disimpannya di suatu tempat dalam rumah.

Pada suatu malam, ketika Raja pulang dari pasar, Raja melihat truk-truk militer dan begitu banyak tentara bersenjata berada di rumah Pak Idroes. Di sana, konflik berdarah terjadi dan menyebabkan Pak Idroes meninggal dunia. Jeng Yah dipenjara secara tersembunyi dan dihilangkan identitasnya tanpa sebab apapun dan keluarga Pak Idroes masuk dalam daftar orang yang berpotensi menciptakan kekacauan di ranah politik. Jelasnya, Jeng Yah ditahan karena dituduh sebagai antek Partai Merah, yang barangkali dalam sejarah tanah air dikenal sebagai Partai Komunis Indonesia. Hal itu dikuatkan lagi dengan ditemukannya kretek Merah di dalam rumah Jeng Yah, simbol dan barang bukti atas keterlibatan keluarga Pak Idroes sebagai anggota Partai Merah. Di sisi lain, Raja yang baru pulang dari pasar berupaya menghentikan Jeng Yah tetapi perempuan itu menyuruh Raja pergi agar ia tidak dianggap terlibat. Bersikeras ingin menyelamatkan Jeng Yah, salah satu tentara menembak kaki Raja. Raja pun berlari meninggalkan tempat terjadinya konflik berdarah itu.

Dari hal tersebut, serial ini juga berupaya mengingatkan masyarakat atas sejarah politik yang pernah terjadi dan dialami oleh sesepuh kita terdahulu. Apabila bicara soal Generasi Milenial dan Z, barangkali sejarah itu amat asing di kepala mereka, karena sejarah bangsa ini seperti berkelit-kelindan dalam keruwetan yang paten, sehingga sulit menelusuri kebenaran absolut. Namun, ketika melihat serial ini, gagasan yang diusung bukanlah pada persoalan benar atau salah, tetapi pada bagaimana seseorang menyikapi dengan bijak sejarah kelam bangsa kita, terutama pada generasi milenial dan Z hari ini. Ketika serial ini mempertemukan Lebas (Arya Saloka) dan Arum (Putri Marino) – yang tentu saja hal ini tidak ada di dalam novel – sebagai tokoh yang berupaya mengorek sejarah masa lalu, secara esensial saya melihat ada semacam benang merah yang menghubungkan realitas serial dengan realitas hari ini. Adapun bila membahas soal generasi Milenial & Z, tentu mayoritas dari mereka adalah generasi yang tercerabut dari akar identitas asli keluarganya – generasi yang kerap mengalami krisis identitas. Sebagian dari mereka barangkali antusias untuk mempelajari sejarah dan identitas dirinya, tetapi bagi sebagian yang lain, lebih baik menghadapi kenyataan hidup hari ini ketimbang mengurusi masa lalu yang barangkali tidak penting untuk dibicarakan. Dalam serial Gadis Kretek, Lebas dan Arum adalah tokoh yang tidak peduli dengan latar belakang keluarga. Tetapi ketika mereka mulai membaca surat-surat Jeng Yah, mereka terbawa dalam suasana dimensi masa lalu yang membuat mereka semakin penasaran, membuat mereka semakin mengerti arti dari kalimat, “Belajar dari masa lalu dan memperbaikinya di masa depan’.

Usai menonton Gadis Kretek, saya berpikir bahwa kedua tokoh pemuda, Lebas dan Arum, sepertinya merupakan simbol dari generasi Milenial & Z yang berupaya mencari identitas dirinya melalui masa lalu orang tuanya. Pun serial ini ternyata tidak hanya bicara soal kisah cinta Raja dan Jeng Yah, tetapi secara esensial juga memberikan beban sejarah, tradisi, maupun budaya kepada Gen Milenial & Z agar mereka tidak melupakan latar belakang dan identitas dirinya. Barangkali masa lalu yang begitu kelam dan tidak penting, tetap harus kita terima sebagai bagian tubuh yang terluka, yang harus segera diobati sebelum menjalar semakin parah. Pun dalam serial, Arum Cengkeh adalah perempuan yang berhasil mengenali identitas dirinya. Hal itu ditunjukan dengan sikap kemandirian sebagai perempuan, sebagai anak dari Jeng Yah. Begitupun Lebas, ia pada akhirnya menjadi laki-laki yang bertanggung jawab atas segala kesalahan yang dibuat oleh Rama-nya, Raja, pemilik pabrik kretek terkenal bernama Djagad Raja. Melalui serial ini, kita semakin tahu bahwa tidak hanya generasi tua, tetapi generasi muda kita memiliki trauma politik yang mendarah daging, yang sulit untuk disembuhkan dan yang harus segera diselesaikan. (YI/K5/FA)

Ditulis di Surabaya, 6 November 2023.