Dhamar Gautama: Korupsi, Diskusi dan Kolektif Kritik

Ekosistem perfilman Surabaya dan Jawa Timur dirasa bangkit kembali dengan hadirnya Forum Festcil x Boomcraft Production setelah hiatus pada masa pandemi. Lebih dari 200 orang hadir di Gedung Cak Durasim, Surabaya pada 25 Februari lalu.

NASIONALULASAN FILMJAWA TIMUR

Fariduddin Aththar

5/7/20248 min read

BeritaSinema.com - Ekosistem perfilman Surabaya dan Jawa Timur dirasa bangkit kembali dengan hadirnya Forum Festcil x Boomcraft Production setelah hiatus pada masa pandemi. Lebih dari 200 orang hadir di Gedung Cak Durasim, Surabaya pada 25 Februari lalu untuk menikmati 12 film pendek yang tayang dari siang sampai malam menjelang. Beritasinema juga hadir di sana, terutama sebagai media partner. Namun, satu film pendek berdurasi 15 menit di sesi pertama, Legalisasi Obsesi, menyita perhatian hingga akhirnya membuat Saya mencoba berkenalan dengan sang sutradara. Judulnya Hitler Mati di Surabaya.

Sinopsis singkatnya, Mitro (Eka Wahyu Primadani) masuk televisi setelah diwawancarai terkait penemuan kuburan Hitler di kompleks pemakaman yang ia jaga. Keluarga kecilnya senang ia masuk TV, namun kecewa karena ternyata tak dibayar untuk wawancara tersebut. Sedangkan di sisi lain, sang anak merengek-rengek hendak liburan ke Kenjeran yang sedang diskon. Melihat peluang bisnis dari terkenalnya ia di media massa, ia pun meminjam seragam tentara dari Lurahnya (Andi Hernawan) yang mantan tentara. Wahana foto di makam Hitler itu pun ramai pengunjung dan memberinya pemasukan tambahan. Namun ia mendapat kesulitan ketika kembali kepada Lurahnya.

Filmnya dapat ditonton di kanal Youtube KPK. Namun, di Forum Festcil kemarin yang tayang adalah versi director’s cut untuk pertama kalinya.  

Nama sang sutradara adalah Dhamar Gautama, mahasiswa hukum Universitas Airlangga yang menginisiasi Lopus Film, sebuah komunitas perfilman berbasis di Jombang dan Surabaya. Di hari Forum Festcil berlangsung, Saya dan Dhamar menemukan banyak kesamaan sehingga obrolan kami banyak nyambungnya, terutama dalam aktivisme dan pemikiran-pemikiran progresif. Setelah itu, kami bertukar Instagram untuk menjadwalkan wawancara. Pada Kamis (8/3) lalu, kami membicarakan inspirasi filmnya, diskusi pasca-screening yang menyenangkan, hingga proyek kolektif kritik yang sedang ia bangun.

BeritaSinema.com: Saya ingin mengulang kembali apa yang sampean sampaikan di Forum Festcil kemarin, bahwa kemudian ada unsur-unsur lokal dan global dalam inspirasi film ini; yang global adalah Hitler di mana semua orang kenal karena sepak terjangnya di Perang Dunia II dan yang lokal adalah isu bahwa ia dimakamkan di Surabaya. Sebenarnya, awal mula inspirasi film ini tuh berasal dari mana sih hingga menang di KPK?

Dhamar Gautama: Kalau misalkan di-track itu sebenernya kami idenya ada dulu, jadi cerita itu adalah salah satu hasil dari pitchingan internal kami di UKM Cinematography Unair. Jadi kami ada satu produksi tahunan yang disebut sebagai Lunar Film Project dan di situ semua anggota diberi hak untuk mengajukan ide melalui satu proses pitching. Pada akhirnya, kemarin Saya mengajukan satu ide, ya Hitler Mati di Surabaya itu, akhirnya itu lolos di LFP Cinematography Unair. Ia menjadi salah satu dari tiga film-lah yang proposalnya akan diproduksi pada tahun 2023. Sampai akhirnya salah satu pitcher saat itu kemudian menyarankan cerita ini untuk di apply ke ACFFEST, Anti Corruption Film Festival-nya KPK. Karena ini ada muatan nilai anti korupsinya.

Akhirnya kami susun proposal, kami coba siapkan power point pitchingnya dan kita akhirnya apply di KPK saat itu yang kebetulan membuka pendaftaran proposal filmlah pada tahun 2023. Nah, dari proses pitching di KPK, dari 600 proposal itu akhirnya seleksi, kalau nggak salah, 50 atau 30 besar, terus kemudian 20. Pada 20 besar itu, kita akhirnya bisa untuk pitching secara Zoom, secara online dengan pitcher saat itu: Makbul Mubarak. Setelah proses pitching itu, kami masuk di 5 besar, yang mana itu akan mendapatkan pendanaan pada ACFFEST 2023.

Pada prosesnya kami sudah membuat premis. Namun, ada satu tahap yang difasilitasi oleh KPK yang namanya movie camp. Di sana ada yang namanya proses semacam pendidikan singkat, semacam course tentang film dari beberapa pemateri, salah duanya adalah Makbul Mubarok dan Mbak Kamila Andini. Setelah selesai course itu, ada satu tahap lagi yaitu mentoring script. Di sana itu kita disediakan satu jam untuk kita mengobrol dengan Kamila Andini dan Makbul Mubarak untuk menggodok kembali script kita. Saat itu masih proposalnya, belum script secara jadi. Sampai akhirnya pada proses itu mau nggak mau script-nya harus kita selesaikan di draft pertama.

Singkat cerita pada akhirnya kita masuk di sesi satu jam itu, dan ada banyak saran yang masuk dari Kamila Andini dan Makbul. Sampai akhirnya beberapa saran itu yang kemudian kita masukkan di dalam film kami, di dalam cerita kami. Ada beberapa yang kita masukkan ada yang nggak. Pada proses satu jam itu, cerita kami berkembang dari sebelumnya mungkin hanya A sampai B, gitu ya, sampai akhirnya jadi A sampai Z.

BS: Tadi Mas Dhamar nyebut kemudian ada “muatan antikorupsi”. Sebenarnya, misalnya untuk teman-teman sineas juga, muatan antikorupsi di sini tuh apa sih? Apakah kemudian dalam ceritanya, dalam premisnya, menyebutkan pembagian uang, atau misalnya menyebutkan adanya KKN?

DG: Jadi ini kemudian karena sudah open public di YouTube ya, tapi ini masih dengan pendekatan yang berbeda. Tapi sebenarnya pada dasarnya inti-inti nilai korupsinya masih sama. Yaitu, yang muncul dalam cerita ini, yang berasal dari korupsi dari sebuah power, dari sebuah kekuasaan. Ada penyalahgunaan wewenang. Jadi saat itu Saya berangkat dari satu kalimat, satu teori lah: Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely. Jadi ada kecenderungan korupsi dari sebuah kekuasaan dan kemudian Saya menempatkan satu spektrum yang cukup kecil pada ranah desa. Karena saat itu Saya berpikir bahwa kadang korupsi itu nggak hanya di ruang-ruang yang melengkupi institusi besar, dan nggak hanya nominal-nominal yang sangat besar. Tapi juga pada akhirnya, kalau kita melihat pada satu sistem pemerintahan paling rendah pun, di tataran kelurahan pun juga marak adanya korupsi. Bahkan kebengisannya itu dirasakan secara langsung oleh masyarakat, termasuk tokoh utama disini, yaitu Mitro yang seorang penjaga makam.

BS: Kemudian setelah kita ngobrol di Festcil kemarin, salah satu bentuk isunya adalah masuknya militer ke dalam ruang-ruang sipil yang kemudian menciptakan korupsi. Kalau Saya baca di sinopsis, gaji Mitro itu dipotong 60%, apakah kemudian potensi militer dalam sipil itu kemudian merusak sebesar itu juga? Atau bagaimana?

DG: Sebenarnya, untuk kita menggunakan satu karakter lurah yang korup itu sebenarnya cukup untuk kita hanya mengatakan atau menghadirkan sebuah lurah dengan background yang biasa-biasa saja. Itu sebenarnya sudah cukup, karena pun banyak di lapangan, lurah dengan background petani, background swasta, bisnis-bisnis wirausaha, yang korupsi juga banyak. Tapiapa yang membuat karakter ini semakin kuat? Sampai akhirnya Saya kepikir persoalan tentang Dwifungsi ABRI. Jadi kalau kita ingat bahwa kelompok militer juga selain hadir sebagai kekuatan militer yang melindungi pertahanan sebuah negara, tapi ini juga masuk sebagai pengatur negara yang mana dia menempati jabatan-jabatan yang umumnya itu masuk pada jabatan sipil. Kalau misalkan dilihat pada film Hitler pun juga ada penguat untuk mengarah ke sana misalkan pada kabar kemunculan Dwifungsi ABRI juga akhir-akhir ini, ada wacana itu yang akan digelontorkan dan sebagainya. Itu akhirnya Saya pakai dalam film ini. Maka, jadilah sosok karakter Pak Lurah itu yang korup. Nanti dia tidak hanya di seorang lurah, tapi dia juga seorang pensiunan militer, yang mana ada watak-watak yang keras.

Jadi sebenarnya Saya juga nggak sepakat dengan konsep Dwifungsi ABRI, makanya Saya coba masukkan kritik itu juga ke film ini. Ini hanya salah satu contoh case, tidak kemudian men-genalirisir bahwa seluruh anggota tentara atau orang kelompok dari tentara itu kemudian tidak bisa memimpin dalam jabatan sipil. Nggak juga. Tapi kemudian karakter Pak Lurah pun juga tidak berdiri sendiri. Dia juga memiliki satu konteks bahwa ia, yang merupakan dulunya kelompok tentara terus kemudian masuk jabatan sipil sebagai Pak Lurah, tapi kok malah korup kepada rakyatnya? Pertanyaannya adalah apakah tepat itu terjadi? Apakah kemudian nilai-nilai semacam nasionalisme yang dia pegang selama hidup kemudian terlaksana dengan baik? Apakah kemudian termanifestasi dengan baik? Jawabannya adalah belum tentu. Jadi ada refleksi tentang pertanyaan itu. Karena sebenarnya kalau kita rumuskan secara gampang, kalau orang Jawa bilang itu pager mangan tanduran: Orang yang kemudian didaulat memiliki fungsi untuk melindungi rakyat kok malah makan rakyat? Apakah itu kemudian benar? Ya, kita bisa bertanya-tanya. Kita bisa melakukan refleksi tentang tentang hal itu setelah menonton film ini.

BS: Wah bener-bener jawaban yang sangat bagus, Mas Dhamar, karena ternyata film ini benar-benar membuat Saya sebagai penonton bertanya-tanya tentang peran militer dalam jabatan sipil. Beralih ke topik festival, selanjutnya film ini akan tayang di mana lagi? Atau kira-kira akan apply ke festival?

DG: Kalau misalkan apply kita masih belum, tapi akan ada applying di awal-awal bulan April, karena itu sudah mulai masuk di submisi festival film, baik di Indonesia maupun di internasional. Semoga film ini jalannya panjang, tapi kita mungkin akan mulai submit di bulan April. Karena kalau misalkan periode festival, festival-nya kan biasanya akhir tahun dan itu perode submisi biasanya setengah setengah tahun. Pertengah tahun itu sudah mulai banyak yang buka dan kita akan coba apply di waktu tersebut. Tapi untuk sementara, akan penayangan yang pasti itu, itu pada penayangan seluruh film LFP. Ini kan bagian dari Lunar Film Project Unari, dan kami akan menayangkan tiga film, serta dua film lain yang juga diproduksi pada tahun 2023 kemarin.

BS: Saya kemudian melihat rekam jejak Mas Dhamar, dan menemukan bahwa Mas Dhamar kan filmnya pernah terpilih di Bali (Balinale International Film Festival) ya? Apakah kemudian ingin kembali lagi?

DG: Ya, I hope so. Saya harapannya juga sebenarnya itu balik lagi persoalan ini, Mas, niatan sebenarnya. Kami sebenarnya tidak menarget harus ke, Saya sendiri ya, paling tidak Saya tidak menarget ke festival tertentu. Tidak. Tapi ada niat yang terbesar untuk festival adalah agar film ini bertemu lebih banyak menonton dan lebih banyak dialog setelah atau pasca-menonton, yang itu benar-benar Saya harapkan. Dialog pasca-menonton itu penting bagi sebuah film, karena film bisa lebih dibedah, lebih banyak berbicara, ketika dialog itu juga dihadirkan setelah menonton. Sehingga mungkin persepsi yang bermacam-macam terhadap film ini bisa kemudian dibicarakan dan semakin mengkritisi film ini lah.

BS: Mas Dhamar kemudian menyebut diskusi pasca-screening sangat penting. Gimana kesan kemarin di Festcil? Apakah cukup?

DG: Sebenarnya itu dibilang cukup sih, ya mau nggak mau ya, karena durasi yang juga cukup singkat dan film kami juga diputar dengan beberapa film lain, tidak merupakan screen yang khusus untuk membahas Hitler. Ya dengan porsi yang demikian, Saya kira at least ada lah waktu untuk obrolan kesana dan itu sudah cukup lah untuk sedikit banyak memantik seseorang untuk berpikir pasca menonton film Hitler Mati di Surabaya.

BS: Mas Dhamar sendiri apakah lebih suka kemudian diskusi paska screening dalam ruangan atau diskusi-diskusi informal?

DG: Apa pun. Saya sangat menerima dan akan memfasilitasi itu ya, selaku sutradara dan scriptwriternya. Entah secara diskusi formal atau informal, Saya terima semuanya. Yang penting Saya mengetahui bahwa ada orang yang tertarik pada film ini dan tidak hanya sekedar menonton, tapi membahas apa yang ada di dalam film ini. Itu menurut Saya itu sudah satu hal yang sangat-sangat bagus dan Saya akan berusaha untuk memfasilitasi itu.

BS: Saya lihat kemarin Mas Dhamar sama teman-teman alumni Lomba Ulas Film Nasional kemudian membuat kolektif kritik bernama CineAUF. Apa rencananya dan apa proyeksi terdekatnya mungkin?

DG: Jadi kebetulan tahun 2023 akhir kemarin, Kemendikbud bikin Lomba Ulas Film Nasional dan kategorinya adalah mahasiswa dan SMA. Tapi untuk tahun ini Saya dengar-denger itu sudah akan juga membuka kategori umum. Kami kemarin ikut dari seluruh kampus di Indonesia akhirnya terkumpul 15 orang sebagai finalist. Dan setelah itu the final round dan akhirnya ada lomba itu. Tapi dari resource yang kita miliki, ternyata kalau kita hitung-hitung, kita cukup sayang ketika lomba itu selesai, terus kita tidak berhimpun menjadi satu, karena bisa dibilang resource-nya cukup macam-macam dari beberapa kampus dengan jurusan yang berbeda. Ada yang tentu jurusan film, dari teman-teman ISI Jogja, ISI Solo, UPI Bandung, terus kemudian ada dari teman Sastra Indonesia UGM, ada Saya dari jurusan hukum. Artinya, resource kita dengan latar belakang berbeda-beda itu sebenarnya sangat bisa untuk kita utilize lebih jauh untuk membuat satu club kritik film.

Apalagi kita mungkin kemarin sudah terjaring dengan beberapa orang-orang hebat, karena kemarin jurinya juga ada beberapa dosen, dan juga dosen dari IKJ termasuk pemenang kritik film di FFI, dan orang-orang hebat lain. Tentu resource ini bisa kita gunakan untuk kita membuat satu club tadi, dan harapannya nanti kita bisa bikin semacam kritik film dan kita mencoba untuk mengkritisi film sehingga film itu bisa untuk memantik pemikiran-pemikiran yang luas, sehingga nanti akan berkembang seiring berjalannya waktu. Itu masih prototipe yang kita bangun, baru dua hari yang lalu. Semoga ini nanti bisa berjalan jauh.

BS: Amin, semoga bisa terus berjalan dan turut berkontribusi dalam ekosistem perfilman di Indonesia. Terimakasih Mas Dhamar, sukses selalu!

DG: Sama-sama, Beritasinema!

(FA/K3/FA)

Grab Still Film Pendek Hitler Mati di Surabaya (Sumber: Youtube KPK).

Sesi diskusi Film Pendek Hitler Mati di Surabaya pada Forum Festcil (Sumber: Instagram @aurellixa).