Barang Panas dan Perdebatan yang Menyertainya

Sebelum tahun berganti, Indonesia Baru bersama Jatam dan Sunspirit, merilis film dokumenter terbaru mereka berjudul Barang Panas, tepatnya pada 17 Desember.

NASIONALULASAN FILM

Fariduddin Aththar

2/11/20248 min read

Sumber Foto: YouTube Indonesia Baru

Sebelum tahun berganti, Indonesia Baru bersama Jatam dan Sunspirit, merilis film dokumenter terbaru mereka berjudul Barang Panas, tepatnya pada 17 Desember. Proyek keliling Indonesia selama 424 hari ini sebelumnya telah menghasilkan berbagai film dokumenter yang bisa ditonton di kanal YouTube dengan nama serupa. Karena berbentuk koperasi, penonton diminta untuk menentukan harganya sendiri dan membayar tiketnya dengan mengirimkan uang ke rekening di akhir film. Termasuk Barang Panas yang telah dirilis di YouTube pada 20 Desember.

Barang Panas sendiri berfokus pada isu energi terbarukan yang sedang masif dijalankan di Indonesia, yaitu geothermal atau panas bumi. Dibuka dengan adegan memburu katak untuk dijadikan panganan rumahan di malam hari, Barang Panas mengikuti perjuangan dan kisah masyarakat di Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur yang menolak pembangunan pembangkit listrik bertenagakan geothermal di tanah mereka.

Mengikuti Pak Yosef, yang juga kepala desa, menjadi guide untuk pasangan turis yang berkunjung ke Danau Sano Nggoang, film ini membuka keindahan alami kehidupan masyarakat. Mata pencaharian utama mereka adalah pertanian, mencapai 1200 orang yang menjadi petani, untuk komoditas seperti vanili, kopi, cengkeh dan coklat. Selain itu, sebagaimana masyarakat lain di sekitar, mereka juga beternak babi. Ketika babi-babi peliharaan mereka dijual untuk membiayai kuliah anak di Jawa, anak-anak mereka lulus dengan menyandang sebutan “sarjana babi”. Bukan umpatan, melainkan gambaran literal.

Namun, setelah lima belas menit filmnya berjalan, gambaran indah nan asri itu berubah. Benaya Harobu, sang sutradara, mulai menceritakan ancaman yang akan mendatangi Pak Yosef dan masyarakat Wae Sano. “... Tahun 2016, Pak Yosef dan warga lainnya dengar tempat mereka akan dibangun proyek geothermal.” Dari sana, mulai muncul gambaran penolakan: spanduk-spanduk dikibarkan, musyawarah dilakukan, dan poster-poster dipasang di dinding-dinding rumah. Surat dilayangkan kepada pemerintah dan keuskupan. Sikap mereka jelas: Tolak!

Lalu, kalau memang film ini merekam penolakan warga atas proyek pemerintah yang berkemungkinan besar menghancurkan hajat hidup orang banyak, kenapa malah film ini mendapat banyak penolakan di berbagai tempat?

Sumber Foto: YouTube Indonesia Baru

Penolakan dari Walhi hingga Lembaga Bantuan Hukum

Perdebatan film ini pertama kali saya jumpati di akun instagram Walhi Jatim bersama Amnesty Unair terkait agenda mereka yang awalnya nobar menjadi Kritik Film Barang Panas. Meskipun belum bisa bergabung dalam agenda ini, setidaknya poin-poin kekecewaan mereka dapat dilihat dalam caption-nya: “ terdapat beberapa poin yang perlu dikritisi, salah satunya beberapa narasi yang "tidak jelas keberpihakannya" seperti pada poin diskusi 'produser dengan tim produksi' pada menit 39:37 yang kurang memahami konteks penolakan. Meskipun dianulir kembali olehnya pada menit 1:06:05.”

Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif Walhi Jatim dan anggota Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) menulis lebih lengkap di kanal Bandungbergerak.id  dengan mengatakan bahwa kekecewaan ini sudah terlihat sejak keputusan rekan-rekan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang membatalkan agenda nonton bersama yang kemudian diikuti oleh banyak organisasi lain di berbagai titik. Alasan utamanya adalah narasi yang inkonsisten, terutama ketika di akhir film, Dandhy Laksono, memberikan kesimpulan yang terdengar seperti rekomendasi kebijakan untuk membangun “koperasi energi” yang nantinya akan menguntungkan masyarakat lokal.

Untuk lebih lengkapnya, berikut adalah kesimpulan :

  1. Perubahan dari energi kotor seperti batu bara ke energi yang lebih baik seperti geothermal, juga harus dilakukan dengan cara-cara yang baik.

  2. Biarkan masyarakat memilih dan memutuskan apa energi yang paling cocok untuk kampungnya.

  3. Pembangkit energi seperti geothermal bisa dimulai dari skala kecil, untuk kepentingan masyarakat setempat sehingga mereka tidak merasa dikorbankan untuk kemajuan daerah lain.

  4. Dengan skala kecil, resiko sosial dan lingkungannya lebih bisa diminimalisasi sambil pelan-pelan masyarakat lokal disiapkan sebagai tenaga ahli.

  5. Setelah masyarakat merasakan manfaat listriknya, kapasitas produksi bisa ditambah untuk dijual ke tempat lain. Artinya, selain pemerintah dan investor, masyarakat juga bisa memiliki saham perusahaan yang beroperasi di kampung mereka. Dan saham masyarakat bisa diwakili oleh sebuah koperasi energi, misalnya.

  6. Dengan sumber ekonomi baru sebagai penghasil energi, jika ada perubahan mata pencaharian seperti dari pertanian atau dari perikanan, maka perubahan itu akan terjadi secara bertahap, sehingga masyarakat juga cukup waktu untuk beradaptasi.

  7. Solusi-solusi ini mungkin tidak menarik bagi investor yang ingin untuk cepat, dan solusi-solusi ini mungkin juga tidak menarik bagi pemerintah atau pejabat atau politikus yang ingin segera pamer foto-foto di proyek, foto-foto peresmian proyek, dan untuk menarik pemilih di pemilu berikutnya.

Dari tujuh kesimpulan di atas, meskipun berasal dari satu garis besar yang sama, sebenarnya dipermasalahkan sejak poin ketiga, di mana Dandhy tampak seperti mendukung keberadaan geotermal, meskipun idenya adalah memulai dari bawah, menyerahkan keputusan dan kepemilikan sepenuhnya kepada masyarakat, sembari pelan-pelan kapasitasnya ditingkatkan hingga dapat menjual surplus yang muncul ke perkembangan berikutnya. Namun, kesimpulan akhir ini bukan masalah satu-satunya. Film ini masih perlu pembedahan lebih lanjut untuk menunjukkan poin-poin permasalahannya.

Narasi Populis dan Kepemilikan Energi

Saya tidak meragukan kemampuan Dandhy dan tim Indonesia Baru, termasuk empat serangkai yang menginisiasi perjalanan mereka ke berbagai pelosok Indonesia. Dandhy adalah jurnalis senior yang sudah melahirkan buku sendiri terkait jurnalisme investigasi. Farid Gaban juga sudah malang-melintang dalam jurnalisme, bekerja di Tempo dan Republika, meliput ke luar negeri. Pada 2009, dia menginisiasi perjalanan serupa berjudul Zamrud Khatulistiwa. Lini mereka yang lain, Watchdoc Documentary, adalah kanal yang sering menjadi rujukan dalam mata kuliah-mata kuliah saya di antropologi.

Namun, bukan berarti karya mereka tidak lepas dari kritik, utamanya film Barang Panas ini. Di pertengahan film, sebagaimana disebut oleh rekan-rekan Walhi Jatim dan Amnesty Unair atas poin “tidak jelas keberpihakannya”, Benaya Harobu berdiskusi ke penonton, “Di Wae Sano, memang gerakan menolak geothermal didominasi oleh orang-orang tua. Tapi suara-suara anak muda ini perlu lho, Mas.” Akhir kalimat itu ditujukan untuk Dandhy yang berada di ruangan yang sama. “Jangan jangan, mereka sudah tidak mau lagi bekerja di pertanian, maunya kerja di geothermal? Kalaupun lahannya dipertahankan, bagaimana kalau tidak ada lagi yang mau garap? Lalu apa poinnya? Lahan-lahan masih utuh, sedangkan anak mudanya pergi ke kota dan menjadi buruh?”

Bagian selanjutnya dari film ini kemudian menjadi medium untuk membuktikan bahwa pertanyaan itu dapat dijawab: bahwa generasi muda ini juga memilih ikut menolak, ikut mempertahankan tanah mereka, dan memprotes dengan turun ke jalan bersama generasi tua. Generasi muda juga terlibat dalam diskusi dan wacana perubahan geotermal dari tambang menjadi energi terbarukan, menyediakan basis pengetahuan yang selama ini menjadi dominasi warga berpendidikan di wilayah urban.

Namun, alih-alih membagi wacana antara “tua-muda” yang tampak populis, perubahan lahan akibat ekspansi geothermal seharusnya dibaca melalui kacamata kapitalisme yang menggunakan perampasan lahan sebagai bagian dari akumulasi primitif (Özsu, 2019: 19). Dengan begitu, perubahan lahan akan dipahami sebagai upaya untuk memisahkan produsen (dalam hal ini petani) dari alat produksinya (lahan) dan membuat mereka menjadi pekerja upahan di tanah sendiri, tidak perlu jauh-jauh ke kota. Itupun kalau mereka mendapatkan pekerjaan: sedangkan untuk bekerja dalam pertambangan, dibutuhkan kualifikasi tinggi yang harus ditempuh melalui sistem pendidikan yang tidak sebentar.

Jadi, mempertanyakan apabila generasi muda tidak mau menjadi petani seharusnya mengarah pada pertanyaan menyelidik: mengapa anak muda tidak mau menjadi petani dan memilih untuk menjadi buruh di kota atau luar daerah? Pertanyaan ini seharusnya dijawab dengan mudah oleh Tim Ekspedisi Indonesia Baru sebagaimana yang mereka rekam dalam dokumenter-dokumenter sebelumnya: bahwa petani harus menghadapi kerusakan alam akibat proyek pertambangan emas (Banyuwangi) dan lahan-lahan mereka dipaksa untuk dijual (Wadas). Jawabannya bisa lebih kompleks, namun alih-alih membagi diskursunya pada wacana populis akan perbedaan generasi antara tua dan muda seperti dalam sejarah Proklamasi 1945, pertanyaan yang lebih tajam dan mengarah tepat pada permasalahan akan tersedia jika menganalisisnya dengan kacamata Marxis yang mungkin bukan hal baru bagi rekan-rekan Indonesia Baru.

Hal lain, adalah mengenai kesimpulan yang diambil oleh Dandhy mengenai ide akan “koperasi energi”. Pertama, kesimpulan ini sendiri dapat dikritisi mengenai idenya yang terletak di akhir. Bahkan dalam kaidah penulisan ilmiah standar, kita belajar untuk tidak meletakkan ide baru apapun di bagian akhir. Untuk itu, kesimpulan berguna sebagai pengulangan atas ide utama yang disampaikan di bagian awal, sekaligus merangkum poin-poin penjelas yang menjadi isinya. Meletakkan ide baru di bagian akhir akan menjadi prank untuk penonton, sehingga menimbulkan reaksi penolakan yang muncul setelah filmnya habis ditonton, sebagaimana yang terjadi di Padang dan teman-teman Walhi Jatim.

Kedua, kepemilikan bersama akan sumber energi seperti pertambangan bukanlah hal baru. Ide akan koperasi memungkinkan kita membayangkan akan adanya kepemilikan bersama masyarakat adat, kesetaraan akses terhadap sumber-sumber energi, hingga keberlanjutannya untuk wilayah setempat. Namun, karena ia bukan ide baru, maka perlu pembacaan ulang bagaimana ia diterapkan di Indonesia, terutama dalam wilayah-wilayah masyarakat adat di mana lahan-lahan masihlah milik kolektif dan kalaupun dimiliki oleh individu, tetaplah warga negara yang sama-sama berhak mempertahankan hak mereka.

Dandhy Laksono, Sutradara Film Dokumenter Barang Panas.

Kung dkk menelusuri bagaimana kepemilikan bersama masyarakat adat (indigenous co-ownership) terjadi ketika kelompok masyarakat atau entitasnya, yang memiliki tanah atau wilayahnya merupakan lokasi proyek, memiliki saham (ekuitas) perusahaan pengembang (Kung dkk., 2022: 416). Melalui mekanisme ini, masyarakat adat kemudian mengupayakan kesetaraan saham untuk menunjukkan posisi mereka dalam rapat-rapat untuk kemudian menghasilkan distribusi keuntungan yang lebih adil. Kung dkk menelisik berbagai contoh kasus di banyak wilayah, terutama Kanada, Papua Nugini, Australia, Afrika Selatan, Amerika dan Selandia Baru.

Dalam diskusinya, Kung dkk mempertanyakan kembali bagaimana kepemilikan bersama ini dapat mengantarkan keadilan dan pengelolaan sumber energi secara berkelanjutan. Beberapa kesimpulan yang didapatkan adalah:

  1. Keadilan pada umumnya tidak sesuai dengan tujuan yang dibayangkan oleh pemilik tanah karena belum tentu bisa mendapatkan keuntungan dan belum dapat mempengaruhi keputusan perusahaan kecuali elit lokal (hal. 427)

  2. Kepemilikan bersama tidak berarti bahwa masyarakat menyetujui proyek tersebut atas nama mereka (hal. 428)

  3. Model perusahaan yang dikembangkan di wilayah masyarakat adat menuntut masyarakat untuk turut serta dalam negosiasi yang biayanya tinggi dan membutuhkan keahlian dan, karena masyarakat dianggap tidak memiliki kapasitas melakukannya, akhirnya dialihkan kepada negara yang tidak bebas kepentingan dan memiliki resiko besar melakukan korupsi (hal. 428)

  4. Sebagai proyek bisnis kapitalistik, perusahaan bersama (sebagaimana yang dikaji Kung dkk, bukan koperasi) memiliki potensi kerugian sehingga membuat posisi masyarakat adat menjadi rentan jika gagal (hal. 429)

  5. Dengan kepesertaan masyarakat adat atau perwakilannya di dewan, maka keputusan apapun yang dibuat, bahkan jika merugikan sebagian dari mereka, akan dikatakan sebagai keputusan yang dibuat bersama masyarakat (hal. 431)

  6. Memiliki beberapa orang perwakilan masyarakat dalam meja dewan bukan berarti kepemilikan bersama itu mewakili keseluruhan elemen masyarakat termasuk kelompok rentan seperti perempuan dan disabilitas (hal. 432)

  7. Ketika masyarakat adat memutuskan untuk bekerjasama dengan pihak ketiga, belum tentu mereka memiliki visi dan tujuan yang sama dalam mengupayakan sumber energi yang berkeadilan dan berkelanjutan untuk masyarakat sekitar, (hal. 432)

  8. Kepemilikan saham bisa menghancurkan nilai perusahaan dan jika terjadi suatu kecelakaan dan berpotensi merugikan masyarakat adat baik secara finansial, fisik, sosial dan budaya (hal. 433)

Dari poin-poin diskusi di atas, dapat dibayangkan apabila masyarakat diikutsertakan dalam perusahaan energi yang visinya adalah profit kapitalistik. Namun, contoh di atas bukanlah “koperasi” seperti yang diusulkan oleh Dandhy namun memiliki aspek serupa dalam “kepemilikan saham” oleh masyarakat. Saya sendiri percaya dengan poin kedua Dandhy bahwa “masyarakat berhak memilih dan menentukan” karena itulah yang selama ini dipercaya dalam antropologi bahwa masyarakat bisa mengurus dirinya sendiri tanpa bantuan negara.

Namun, sebagaimana dilakukan oleh masyarakat adat di belahan lain dunia, visi akan pembangunan ekonomi tidak harus melalui cara-cara yang merusak alam. Melalui filmnya, Dandhy dan kawan-kawan membuktikan bahwa keberadaan pembangkit listrik geotermal ini sudah merusak lingkungan, lahan pertanian, menyedot banyak air sehingga petani tidak kebagian, menyebabkan kecelakaan dan mengorbankan nyawa, menyebabkan penyakit kulit pada masyarakat sekitar. Pada saat bersamaan, mereka harus berhadapan dengan polisi dan pihak perusahaan (catat dan blacklist: PT. Geo Dipa) yang merangsek masuk ke tanah mereka. Alih-alih diberdayakan sebagai petani, masyarakat adat di berbagai pelosok Nusantara musti kehilangan tanah mereka dan mengorbankan kehidupan demi hajat sebagian orang. Demi sebuah narasi basi yang tidak lagi mereka makan: mewujudkan Indonesia Terang.

Beberapa Catatan

Dalam hal ini, tulisan ini kemudian tampak sebagai kritik yang menyasar pada isu dan konteks sosialnya saja, tidak pada konten. Sayangnya, catatan saya terhadap konten film ini hanya satu: bagaimana kemudian rangkaian adegan mencari katak sebagai panganan tambahan dan diselingi oleh penjelasan Dandhy di awal film tidak memiliki relasi apapun dalam konteks masyarakat adat ataupun penolakan mereka terhadap geothermal. Apakah kemudian katak itu langka setelah geothermal hadir? Apakah kemudian ketahanan pangan yang mengutamakan diversifikasi sumber akan terancam? Tidak ada penjelasan untuk itu. Oleh karenanya, adegan pembuka itu membingungkan. Saya butuh penjelasan lebih tentang alasan katak hadir dalam film ini.

Kemudian, sikap beberapa organisasi untuk kemudian menolak untuk membatalkan penayangan film ini akan sangat disayangkan. Saya memahami bahwa kerja-kerja mereka dalam advokasi masyarakat sipil dan isu-isu lingkungan sudah berjalan lama dan cukup kompleks sehingga keputusan mereka untuk membatalkan agenda nobar pastinya diambil melalui pertimbangan yang matang. Namun, untuk saya, film ini masih layak untuk didiskusikan. Dengan kesimpulan akhirnya, saya pikir Dandhy berutang satu film lagi tentang ide “koperasi energi” itu sehingga memuaskan kita yang kecewa. Oleh karenanya, mari kita dukung Indonesia Baru untuk terus mendokumentasikan berbagai permasalahan negeri kita dan membayangkan masa depan yang lebih baik dengan mengirim “harga tiket” ke rekening mereka di akhir dan dan deskripsi video. Panjang umur perjuangan! (FA/K1/FA)